Pertama : Al-Qur’an ditafsirkan oleh Al-Qur’an sendiri.
Firman Allah :
Artinya : "Tidaklah mungkin Al Quran ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Quran itu) membenarkan Kitab-Kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya (Maksudnya Al Quran itu menjelaskan secara terperinci hukum-hukum yang telah disebutkan dalam Al Quran itu], tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam." (QS. Yunus : 37)
Mengapa demikian ?
Jawabannya dari beberapa jalan, diantaranya :
1. Sebagian ayat yang mujmal (secara garis besar) di satu tempat ditafsirkan atau dijelaskan di tempat yang lain secara terperinci.
2. Sebagian ayat yang ringkas di satu tempat akan di luaskan di tempat yang lain.
Contoh-contohnya dapat kita baca di kitab-kitab tafsir yang berjalan di atas manhaj yang haq seperti tafsir Ibnu Katsir atau tafsir Ibnu Jarir atau tafsir Adhwaa-ul Bayaan oleh Imam Syanqithiy dan lain-lain.
3. Ayat-ayat Al-Qur’an satu dengan yang lainnya saling membenarkan bukan saling mendustakan sebagaimana telah ditegaskan oleh Nabi yang mulia shalallahu ‘alaihi wa sallam :
Artinya : “Sesungguhnya Al-Qur’an ini tidak turun untuk mendustakan sebagian (ayat)nya dengan sebagian (ayat yang lainnya), bahkan sebagiannya saling membenarkan sebagian yang lain, maka apa-apa yang kamu telah ketahui amalkanlah, dan apa-apa yang kamu tidak mengetahuinya kembalikanlah kepada orang yang mengetahuinya (yang alim tentangnya)”. [Hadits Shahih. Telah dikeluarkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah dan yang selain dari keduanya].
Firman Allah :
Artinya : "Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." (QS. An-Nisaa’ : 82)
Ayat yang mulia ini menjelaskan kepada kita, bahwa Al-Qur’an, ayat-ayatnya, selama-lamanya tidak akan pernah saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan bahwa Al-Qur’an dari sisi Allah bukan perkataan mahluk. Karena kalau sekiranya Al-Qur’an bukan dari sisi Allah, pastilah kita akan mendapati di dalamnya pertentangan yang sangat banyak. Oleh karena itu TIDAK ADA YANG MENGATAKAN TENTANG AL-QUR’AN, BAHWA AYAT YANG SATU BERTENTANGAN DENGAN AYAT YANG LAINNYA kecuali dua golongan manusia :
Pertama : Orang yang jahil (bodoh). Maka obatnya adalah bertanya dan belajar dengan pemahaman yang benar dari ahlinya yang berjalan di atas manhaj yang haq.
Kedua : Orang yang kafir atau munafik yang selalu menentang Al-Qur’an. Maka obatnya adalah beriman dengan keimanan yang benar.
Ketahuilah! Bahwa di antara ushul (dasar-dasar) yang terpenting dari orang-orang kafir dan munafiq dan ahli bid’ah ialah kebodohan dan hawa nafsu. Sedangkan orang-orang mu’min dan Ahlus Sunnah, mereka berdiri tegak di atas ilmu dan keadilan.
Peganglah kuat-kuat kaidah yang sangat besar ini!
Kedua : Al-Qur’an ditafsirkan oleh Hadits atau Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
Sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai syarah atau yang menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an sebagaimana firman Allah :
Artinya : "Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan." (QS. An-Nahl : 44)
Ketiga : Al-Qur’an di tafsirkan oleh para shahabat.
Apabila kita tidak mendapati tafsir Al-Qur’an dari Al-Qur’an itu sendiri atau dari Sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka kita kembalikan kepada tafsir para shahabat khususnya ulama mereka seperti khulafaa-ur Raasyidiin, Abdullah bin Mas’ud, Ibnu Abbas dan lain-lain. Hal ini karena beberapa sebab yang banyak sekali di antaranya tiga sebab yang sangat mendasar, yaitu :
1. Mereka lebih tahu tentang Al-Qur’an karena mereka hidup pada zaman turunnya wahyu. Mereka adalah orang-orang yang secara langsung menyaksikan turunnya wahyu, dimana turunnya, kapan turunnya, dan apa maksudnya, dan kekhususan-kekhususan lainnya, yang tidak diketahui oleh orang yang sesudahnya kecuali dari jalan mereka.
2. Mereka memiliki pemahaman yang sempurna dan ilmu yang shahih dinisbahkan dengan generasi yang sesudahnya.
3. Mereka beramal shalih.
Perhatikan dua buah a-tsar berikut :
Berkata Ibnu Mas’ud, “Kebiasaan seseorang dari kami, apabila ia mempelajari sepuluh ayat (Al-Qur’an), ia tidak melampaui nya sampai ia mengetahui makna-maknanya dan mengamalkannya”. [Shahih Riwayat Ibnu Jarir ditafsirnya (juz 1 no. 66 dibagian muqaddimah tafsir)].
Berkata Abdurrahman As Sulamiy, “Telah menceritakan kepada kami orang-orang (yaitu para shahabat) yang telah membacakan (Al-Qur’an) kepada kami, sesungguhnya apabila mereka mempelajari dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh ayat (Al-Qur’an), mereka tidak melampauinya sampai mereka mengetahui ilmunya dan (cara) mengamalkannya. Mereka berkata, “Kami mempelajari Al-Qur’an dan mengamalkannya sekalian”. [Tafsir Ibnu Jarir (No. 67). Majmu Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (13/330). Muqaddimah Tafsir Ibnu Katsir].
Dua a-tsar diatas menjelaskan kepada kita bahwa :
1. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan makna-makna Al-Qur’an kepada para shahabat radhiyallahu ‘anhuma.
2. Para Shahabat adalah orang-orang yang paling alim tentang tafsir Al-Qur’an.
3. Para Shahabat telah mengamalkan Al-Qur’an. Inilah yang membedakan mereka dengan Ahli Kitab, yaitu Yahudi dan Nashara. Yahudi memiliki ilmu, tetapi mereka tidak mengamalkannya dan menyembunyikannya. Sedangkan Nashara beramal tanpa ilmu. Yang pertama dimurkai, sedangkan yang kedua sesat. Adapun para Shahabat, mereka berilmu dan beramal sekalina. Merekalah orang-orang yang Allah telah memberikan nikmat kepada mereka yang kita diperintah untuk mengikuti perjalanan mereka.
4. Para Taabi’in mengambil tafsir dari para shahabat. Oleh karena itu : “Apabila para shahabat dan Taabi’in bersama para imam telah sepakat dalam menafsirkan sesuatu ayat, kemudian datang satu kaum yang menafsirkan ayat tersebut dengan tafsir yang lain disebabkan madzhab yang mereka yakini, dan madzhab tersebut bukanlah madzhab para Shahabat dan Taabi’in, maka mereka telah bersekutu dengan mu’tazilah dan yang selain mereka dari Ahli Bid’ah”. (Diringkas dari perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di Majmu Fatawa 13/361 dalam Tafsir Al-Kawaakib oleh Abu Unaisah Abdul Hakim bin Amir Abdat halaman 113 dan 114)
Maka :
“Barangsiapa yang berpaling dari madzhab Shahabat dan Taabi’in dan tafsir mereka kepada yang menyelisihinya, maka dia telah salah, bahkan sebagai AHLI BID’AH (MUBTADI’). Kalau dia sebagai mujtahid, maka akan diampuni kesalahannya. Dan kita mengetahui, Sesungguhnya Al-Qur’an ini telah dibaca oleh para Shahabat dan Taabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka (Taabi’ut Taabi’in). Dan sesungguhnya mereka lebih mengetahui tentang tafsir Al-Qur’an dan makna-maknanya sebagaimana mereka lebih tahu tentang kebenaran yang Allah telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa kebenaran tersebut”. [Perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di Majmu Fatawa 13/361 – 362 dalam Tafsir Al-Kawaakib oleh Abu Unaisah Abdul Hakim bin Amir Abdat halaman 114 – 115]
Oleh karena itu :
Keempat : Al-Qur’an ditafsirkan oleh para Taabi’in atau dikembalikan kepada asal bahasa Arab yang sesuai dengan kaidah-kaidahnya.
Apabila kita tidak mendapati tafsir Al-Qur’an dari Al-Qur’an itu sendiri atau dari Sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga kita tidak mendapatkan tafsir para shahabat, maka kebanyakan para imam mengembalikannya kepada tafsir para Taabi’in seperti Mujahid bin Jabr, Said bin Jubair, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Atha bin Abi Rabaah, Hasan Bashri, Musruq, Said bin Musayyab, Abul ‘Aliyah, Rabi’ bin Anas, Qatadah dan yang selain mereka.
Apabila mereka telah ijma’ (sepakat) di dalam menafsirkan sebuah ayat, maka tidak ragu lagi bahwa tafsir mereka menjadi hujjah. Sedangkan perkataan atau tafsir yang menyalahi tafsir mereka adalah perkataan atau tafsir yang muhdats dan orangnya sebagai mubtadi’ (ahli bid’ah). Akan tetapi apabila mereka berselisih di dalam menafsirkan sesuatu ayat, maka perkataan sebagian mereka tidak menjadi hujjah terhadap perkataan sebagian yang lainnya. Kemudian para ulama mengembalikannya kepada bahasa Al-Qur’an atau As-Sunnah atau keumuman bahasa Arab yang sesuai dengan kaidah-kaidahnya.
Ketahuilah! Bahwa para shahabat dan Taabi’in, mereka tidak menafsirkan Al-Qur’an kecuali setelah mereka memiliki ilmunya, baik dari Al-Qur’an atau Sunnah, kemudian mereka berdalil atau ber-istimbath (mengeluarkan hukum) dari keduanya dari hasil pemahaman mereka. Oleh karena itu perselisihan yang terjadi diantara kaum salaf di dalam menafsirkan Al-Qur’an sedikit sekali dinisbahkan dengan orang-orang yang sesudah mereka. Tetapi apabila mereka tidak punya ilmunya, mereka pun diam, tidak mau menafsirkannya, dan hal ini sesuai dengan kaidah yang ada dalam Islam, yaitu : BERKATA KETIKA MENGETAHUI DAN DIAM KETIKA TIDAK TAHU. [Majmu Fatawa 13/370 – 375 dalam Tafsir Al-Kawaakib oleh Abu Unaisah Abdul Hakim bin Amir Abdat halaman 115 – 116]
0 komentar:
Posting Komentar